Layanan
bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari pendidikan di Indonesia.
Sebagai sebuah layanan profesional, kegiatan layanan bimbingan dan konseling
tidak bisa dilakukan secara sembarangan, namun harus berangkat dan berpijak
dari suatu landasan yang kokoh, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan
penelitian yang mendalam. Dengan adanya pijakan yang jelas dan kokoh diharapkan
pengembangan layanan bimbingan dan konseling, baik dalam tataran teoritik
maupun praktek, dapat semakin lebih mantap dan bisa dipertanggungjawabkan serta
mampu memberikan manfaat besar bagi kehidupan, khususnya bagi para penerima
jasa layanan (klien).
Agar aktivitas
dalam layanan bimbingan dan konseling tidak terjebak dalam berbagai bentuk
penyimpangan yang dapat merugikan semua pihak, khususnya pihak para penerima
jasa layanan (klien) maka pemahaman dan penguasaan tentang landasan bimbingan
dan konseling khususnya oleh para konselor tampaknya tidak bisa ditawar-tawar
lagi dan menjadi mutlak adanya..
Berbagai
kesalahkaprahan dan kasus malpraktek yang terjadi dalam layanan bimbingan dan
konseling selama ini,– seperti adanya anggapan bimbingan dan konseling sebagai
“polisi sekolah”, atau berbagai persepsi lainnya yang keliru tentang layanan
bimbingan dan konseling,- sangat mungkin memiliki keterkaitan erat dengan
tingkat pemahaman dan penguasaan konselor.tentang landasan bimbingan dan
konseling. Dengan kata lain, penyelenggaraan bimbingan dan konseling dilakukan
secara asal-asalan, tidak dibangun di atas landasan yang seharusnya.
Oleh karena
itu, dalam upaya memberikan pemahaman tentang landasan bimbingan dan konseling,
khususnya bagi para konselor, melalui tulisan ini akan dipaparkan tentang
beberapa landasan yang menjadi pijakan dalam setiap gerak langkah bimbingan dan
konseling.
Landasan Bimbingan dan
Konseling
Membicarakan
tentang landasan dalam bimbingan dan konseling pada dasarnya tidak jauh berbeda
dengan landasan-landasan yang biasa diterapkan dalam pendidikan, seperti
landasan dalam pengembangan kurikulum, landasan pendidikan non formal atau pun
landasan pendidikan secara umum.
Landasan dalam
bimbingan dan konseling pada hakekatnya merupakan faktor-faktor yang harus
diperhatikan dan dipertimbangkan khususnya oleh konselor selaku pelaksana utama
dalam mengembangkan layanan bimbingan dan konseling. Ibarat sebuah bangunan,
untuk dapat berdiri tegak dan kokoh tentu membutuhkan fundasi yang kuat dan
tahan lama. Apabila bangunan tersebut tidak memiliki fundasi yang kokoh, maka
bangunan itu akan mudah goyah atau bahkan ambruk. Demikian pula, dengan layanan
bimbingan dan konseling, apabila tidak didasari oleh fundasi atau landasan yang
kokoh akan mengakibatkan kehancuran terhadap layanan bimbingan dan konseling
itu sendiri dan yang menjadi taruhannya adalah individu yang dilayaninya
(klien). Secara teoritik, berdasarkan hasil studi dari beberapa sumber, secara
umum terdapat empat aspek pokok yang mendasari pengembangan layanan bimbingan
dan konseling, yaitu landasan filosofis, landasan psikologis, landasan
sosial-budaya, dan landasan ilmu pengetahuan (ilmiah) dan teknologi.
Selanjutnya, di bawah ini akan dideskripsikan dari masing-masing landasan
bimbingan dan konseling tersebut :
1. Landasan Filosofis
Landasan
filosofis merupakan landasan yang dapat memberikan arahan dan pemahaman
khususnya bagi konselor dalam melaksanakan setiap kegiatan bimbingan dan
konseling yang lebih bisa dipertanggungjawabkan secara logis, etis maupun
estetis.Landasan filosofis dalam bimbingan dan konseling terutama berkenaan
dengan usaha mencari jawaban yang hakiki atas pertanyaan filosofis tentang :
apakah manusia itu ? Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan filosofis
tersebut, tentunya tidak dapat dilepaskan dari berbagai aliran filsafat yang
ada, mulai dari filsafat klasik sampai dengan filsafat modern dan bahkan
filsafat post-modern. Dari berbagai aliran filsafat yang ada, para penulis
Barat .(Victor Frankl, Patterson, Alblaster & Lukes, Thompson &
Rudolph, dalam Prayitno, 2003) telah mendeskripsikan tentang hakikat manusia
sebagai berikut :
1. Manusia adalah makhluk
rasional yang mampu berfikir dan mempergunakan ilmu untuk meningkatkan
perkembangan dirinya.
2. Manusia dapat belajar
mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya apabila dia berusaha memanfaatkan
kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya.
3. Manusia berusaha terus-menerus
memperkembangkan dan menjadikan dirinya sendiri khususnya melalui pendidikan.
4. Manusia dilahirkan dengan
potensi untuk menjadi baik dan buruk dan hidup berarti upaya untuk mewujudkan
kebaikan dan menghindarkan atau setidak-tidaknya mengontrol keburukan.
5. Manusia memiliki dimensi
fisik, psikologis dan spiritual yang harus dikaji secara mendalam.
6. Manusia akan menjalani
tugas-tugas kehidupannya dan kebahagiaan manusia terwujud melalui pemenuhan
tugas-tugas kehidupannya sendiri.
7. Manusia adalah unik dalam arti
manusia itu mengarahkan kehidupannya sendiri.
8. Manusia adalah bebas merdeka
dalam berbagai keterbatasannya untuk membuat pilihan-pilihan yang menyangkut
perikehidupannya sendiri. Kebebasan ini memungkinkan manusia berubah dan
menentukan siapa sebenarnya diri manusia itu adan akan menjadi apa manusia itu.
9. Manusia pada hakikatnya
positif, yang pada setiap saat dan dalam suasana apapun, manusia berada dalam
keadaan terbaik untuk menjadi sadar dan berkemampuan untuk melakukan sesuatu.
Dengan
memahami hakikat manusia tersebut maka setiap upaya bimbingan dan konseling
diharapkan tidak menyimpang dari hakikat tentang manusia itu sendiri. Seorang
konselor dalam berinteraksi dengan kliennya harus mampu melihat dan
memperlakukan kliennya sebagai sosok utuh manusia dengan berbagai dimensinya.
2. Landasan Psikologis
Landasan
psikologis merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman bagi konselor
tentang perilaku individu yang menjadi sasaran layanan (klien). Untuk
kepentingan bimbingan dan konseling, beberapa kajian psikologi yang perlu
dikuasai oleh konselor adalah tentang : (a) motif dan motivasi; (b) pembawaan
dan lingkungan, (c) perkembangan individu; (d) belajar; dan (e) kepribadian.
a.
Motif dan Motivasi
Motif dan
motivasi berkenaan dengan dorongan yang menggerakkan seseorang berperilaku baik
motif primer yaitu motif yang didasari oleh kebutuhan asli yang dimiliki oleh
individu semenjak dia lahir, seperti : rasa lapar, bernafas dan sejenisnya
maupun motif sekunder yang terbentuk dari hasil belajar, seperti rekreasi, memperoleh
pengetahuan atau keterampilan tertentu dan sejenisnya. Selanjutnya motif-motif
tersebut tersebut diaktifkan dan digerakkan,– baik dari dalam diri individu
(motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik)–, menjadi
bentuk perilaku instrumental atau aktivitas tertentu yang mengarah pada suatu
tujuan.
b.
Pembawaan dan Lingkungan
Pembawaan dan
lingkungan berkenaan dengan faktor-faktor yang membentuk dan mempengaruhi
perilaku individu. Pembawaan yaitu segala sesuatu yang dibawa sejak lahir dan
merupakan hasil dari keturunan, yang mencakup aspek psiko-fisik, seperti
struktur otot, warna kulit, golongan darah, bakat, kecerdasan, atau
ciri-ciri-kepribadian tertentu. Pembawaan pada dasarnya bersifat potensial yang
perlu dikembangkan dan untuk mengoptimalkan dan mewujudkannya bergantung pada
lingkungan dimana individu itu berada. Pembawaan dan lingkungan setiap individu
akan berbeda-beda. Ada
individu yang memiliki pembawaan yang tinggi dan ada pula yang sedang atau
bahkan rendah. Misalnya dalam kecerdasan, ada yang sangat tinggi (jenius),
normal atau bahkan sangat kurang (debil, embisil atau ideot). Demikian pula
dengan lingkungan, ada individu yang dibesarkan dalam lingkungan yang kondusif
dengan sarana dan prasarana yang memadai, sehingga segenap potensi bawaan yang
dimilikinya dapat berkembang secara optimal. Namun ada pula individu yang hidup
dan berada dalam lingkungan yang kurang kondusif dengan sarana dan prasarana
yang serba terbatas sehingga segenap potensi bawaan yang dimilikinya tidak
dapat berkembang dengan baik.dan menjadi tersia-siakan.
c.
Perkembangan Individu
Perkembangan
individu berkenaan dengan proses tumbuh dan berkembangnya individu yang
merentang sejak masa konsepsi (pra natal) hingga akhir hayatnya, diantaranya
meliputi aspek fisik dan psikomotorik, bahasa dan kognitif/kecerdasan, moral
dan sosial. Beberapa teori tentang perkembangan individu yang dapat dijadikan
sebagai rujukan, diantaranya : (1) Teori dari McCandless tentang pentingnya
dorongan biologis dan kultural dalam perkembangan individu; (2) Teori dari
Freud tentang dorongan seksual; (3) Teori dari Erickson tentang perkembangan
psiko-sosial; (4) Teori dari Piaget tentang perkembangan kognitif; (5) teori
dari Kohlberg tentang perkembangan moral; (6) teori dari Zunker tentang
perkembangan karier; (7) Teori dari Buhler tentang perkembangan sosial; dan ( Teori dari Havighurst tentang
tugas-tugas perkembangan individu semenjak masa bayi sampai dengan masa dewasa.
Dalam
menjalankan tugas-tugasnya, konselor harus memahami berbagai aspek perkembangan
individu yang dilayaninya sekaligus dapat melihat arah perkembangan individu
itu di masa depan, serta keterkaitannya dengan faktor pembawaan dan lingkungan.
d.
Belajar
Belajar
merupakan salah satu konsep yang amat mendasar dari psikologi. Manusia belajar
untuk hidup. Tanpa belajar, seseorang tidak akan dapat mempertahankan dan
mengembangkan dirinya, dan dengan belajar manusia mampu berbudaya dan
mengembangkan harkat kemanusiaannya. Inti perbuatan belajar adalah upaya untuk
menguasai sesuatu yang baru dengan memanfaatkan yang sudah ada pada diri
individu. Penguasaan yang baru itulah tujuan belajar dan pencapaian sesuatu yang
baru itulah tanda-tanda perkembangan, baik dalam aspek kognitif, afektif maupun
psikomotor/keterampilan. Untuk terjadinya proses belajar diperlukan prasyarat
belajar, baik berupa prasyarat psiko-fisik yang dihasilkan dari kematangan atau
pun hasil belajar sebelumnya.
Untuk memahami
tentang hal-hal yang berkaitan dengan belajar terdapat beberapa teori belajar
yang bisa dijadikan rujukan, diantaranya adalah : (1) Teori Belajar
Behaviorisme; (2) Teori Belajar Kognitif atau Teori Pemrosesan Informasi; dan
(3) Teori Belajar Gestalt. Dewasa ini mulai berkembang teori belajar alternatif
konstruktivisme.
e.
Kepribadian
Hingga saat
ini para ahli tampaknya masih belum menemukan rumusan tentang kepribadian
secara bulat dan komprehensif.. Dalam suatu penelitian kepustakaan yang
dilakukan oleh Gordon W. Allport (Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, 2005)
menemukan hampir 50 definisi tentang kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat
dari studi yang dilakukannya, akhirnya dia menemukan satu rumusan tentang
kepribadian yang dianggap lebih lengkap. Menurut pendapat dia bahwa kepribadian
adalah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psiko-fisik yang
menentukan caranya yang unik dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.
Kata kunci dari pengertian kepribadian adalah penyesuaian diri. Scheneider
dalam Syamsu Yusuf (2003) mengartikan penyesuaian diri sebagai “suatu proses
respons individu baik yang bersifat behavioral maupun mental dalam upaya
mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, ketegangan emosional, frustrasi
dan konflik, serta memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan tersebut
dengan tuntutan (norma) lingkungan.
Sedangkan yang
dimaksud dengan unik bahwa kualitas perilaku itu khas sehingga dapat dibedakan
antara individu satu dengan individu lainnya. Keunikannya itu didukung oleh
keadaan struktur psiko-fisiknya, misalnya konstitusi dan kondisi fisik,
tampang, hormon, segi kognitif dan afektifnya yang saling berhubungan dan
berpengaruh, sehingga menentukan kualitas tindakan atau perilaku individu yang
bersangkutan dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Untuk
menjelaskan tentang kepribadian individu, terdapat beberapa teori kepribadian
yang sudah banyak dikenal, diantaranya : Teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud,
Teori Analitik dari Carl Gustav Jung, Teori Sosial Psikologis dari Adler,
Fromm, Horney dan Sullivan, teori Personologi dari Murray, Teori Medan dari
Kurt Lewin, Teori Psikologi Individual dari Allport, Teori Stimulus-Respons
dari Throndike, Hull, Watson, Teori The Self dari Carl Rogers dan sebagainya.
Sementara itu, Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan tentang aspek-aspek
kepribadian, yang mencakup :
1. Karakter; yaitu konsekuen
tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsiten tidaknya dalam memegang
pendirian atau pendapat.
2. Temperamen; yaitu disposisi
reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan
yang datang dari lingkungan.
3. Sikap; sambutan terhadap objek
yang bersifat positif, negatif atau ambivalen.
4. Stabilitas emosi; yaitu kadar
kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari lingkungan. Seperti mudah
tidaknya tersinggung, sedih, atau putus asa.
5. Responsibilitas (tanggung
jawab), kesiapan untuk menerima resiko dari tindakan atau perbuatan yang
dilakukan. Seperti mau menerima resiko secara wajar, cuci tangan, atau
melarikan diri dari resiko yang dihadapi.
6. Sosiabilitas; yaitu disposisi
pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Seperti: sifat pribadi
yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.
Untuk
kepentingan layanan bimbingan dan konseling dan dalam upaya memahami dan
mengembangkan perilaku individu yang dilayani (klien) maka konselor harus dapat
memahami dan mengembangkan setiap motif dan motivasi yang melatarbelakangi
perilaku individu yang dilayaninya (klien). Selain itu, seorang konselor juga
harus dapat mengidentifikasi aspek-aspek potensi bawaan dan menjadikannya
sebagai modal untuk memperoleh kesuksesan dan kebahagian hidup kliennya. Begitu
pula, konselor sedapat mungkin mampu menyediakan lingkungan yang kondusif bagi
pengembangan segenap potensi bawaan kliennya. Terkait dengan upaya pengembangan
belajar klien, konselor dituntut untuk memahami tentang aspek-aspek dalam
belajar serta berbagai teori belajar yang mendasarinya. Berkenaan dengan upaya
pengembangan kepribadian klien, konselor kiranya perlu memahami tentang
karakteristik dan keunikan kepribadian kliennya. Oleh karena itu, agar konselor
benar-benar dapat menguasai landasan psikologis, setidaknya terdapat empat
bidang psikologi yang harus dikuasai dengan baik, yaitu bidang psikologi umum,
psikologi perkembangan, psikologi belajar atau psikologi pendidikan dan
psikologi kepribadian.
3. Landasan Sosial-Budaya
Landasan
sosial-budaya merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman kepada
konselor tentang dimensi kesosialan dan dimensi kebudayaan sebagai faktor yang
mempengaruhi terhadap perilaku individu. Seorang individu pada dasarnya
merupakan produk lingkungan sosial-budaya dimana ia hidup. Sejak lahirnya, ia
sudah dididik dan dibelajarkan untuk mengembangkan pola-pola perilaku sejalan
dengan tuntutan sosial-budaya yang ada di sekitarnya. Kegagalan dalam memenuhi
tuntutan sosial-budaya dapat mengakibatkan tersingkir dari lingkungannya.
Lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi dan melingkupi individu
berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pula dalam proses pembentukan
perilaku dan kepribadian individu yang bersangkutan. Apabila perbedaan dalam
sosial-budaya ini tidak “dijembatani”, maka tidak mustahil akan timbul konflik internal
maupun eksternal, yang pada akhirnya dapat menghambat terhadap proses
perkembangan pribadi dan perilaku individu yang besangkutan dalam kehidupan
pribadi maupun sosialnya.
Dalam proses
konseling akan terjadi komunikasi interpersonal antara konselor dengan klien,
yang mungkin antara konselor dan klien memiliki latar sosial dan budaya yang
berbeda. Pederson dalam Prayitno (2003) mengemukakan lima macam sumber hambatan
yang mungkin timbul dalam komunikasi sosial dan penyesuain diri antar budaya,
yaitu : (a) perbedaan bahasa; (b) komunikasi non-verbal; (c) stereotipe; (d)
kecenderungan menilai; dan (e) kecemasan. Kurangnya penguasaan bahasa yang
digunakan oleh pihak-pihak yang berkomunikasi dapat menimbulkan kesalahpahaman.
Bahasa non-verbal pun sering kali memiliki makna yang berbeda-beda, dan bahkan
mungkin bertolak belakang. Stereotipe cenderung menyamaratakan sifat-sifat
individu atau golongan tertentu berdasarkan prasangka subyektif (social
prejudice) yang biasanya tidak tepat. Penilaian terhadap orang lain disamping
dapat menghasilkan penilaian positif tetapi tidak sedikit pula menimbulkan
reaksi-reaksi negatif. Kecemasan muncul ketika seorang individu memasuki
lingkungan budaya lain yang unsur-unsurnya dirasakan asing. Kecemasan yanmg
berlebihan dalam kaitannya dengan suasana antar budaya dapat menuju ke culture
shock, yang menyebabkan dia tidak tahu sama sekali apa, dimana dan kapan harus
berbuat sesuatu. Agar komuniskasi sosial antara konselor dengan klien dapat
terjalin harmonis, maka kelima hambatan komunikasi tersebut perlu diantisipasi.
Terkait dengan
layanan bimbingan dan konseling di Indonesia, Moh. Surya (2006)
mengetengahkan tentang tren bimbingan dan konseling multikultural, bahwa
bimbingan dan konseling dengan pendekatan multikultural sangat tepat untuk
lingkungan berbudaya plural seperti Indonesia. Bimbingan dan konseling
dilaksanakan dengan landasan semangat bhinneka tunggal ika, yaitu kesamaan di
atas keragaman. Layanan bimbingan dan konseling hendaknya lebih berpangkal pada
nilai-nilai budaya bangsa yang secara nyata mampu mewujudkan kehidupan yang
harmoni dalam kondisi pluralistik.
4. Landasan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Layanan
bimbingan dan konseling merupakan kegiatan profesional yang memiliki
dasar-dasar keilmuan, baik yang menyangkut teori maupun prakteknya. Pengetahuan
tentang bimbingan dan konseling disusun secara logis dan sistematis dengan
menggunakan berbagai metode, seperti: pengamatan, wawancara, analisis dokumen,
prosedur tes, inventory atau analisis laboratoris yang dituangkan dalam bentuk
laporan penelitian, buku teks dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya.
Sejak awal
dicetuskannya gerakan bimbingan, layanan bimbingan dan konseling telah
menekankan pentingnya logika, pemikiran, pertimbangan dan pengolahan lingkungan
secara ilmiah (McDaniel dalam Prayitno, 2003).
Bimbingan dan
konseling merupakan ilmu yang bersifat “multireferensial”. Beberapa disiplin
ilmu lain telah memberikan sumbangan bagi perkembangan teori dan praktek
bimbingan dan konseling, seperti : psikologi, ilmu pendidikan, statistik,
evaluasi, biologi, filsafat, sosiologi, antroplogi, ilmu ekonomi, manajemen,
ilmu hukum dan agama. Beberapa konsep dari disiplin ilmu tersebut telah
diadopsi untuk kepentingan pengembangan bimbingan dan konseling, baik dalam pengembangan
teori maupun prakteknya. Pengembangan teori dan pendekatan bimbingan dan
konseling selain dihasilkan melalui pemikiran kritis para ahli, juga dihasilkan
melalui berbagai bentuk penelitian.
Sejalan dengan
perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi berbasis komputer, sejak
tahun 1980-an peranan komputer telah banyak dikembangkan dalam bimbingan dan
konseling. Menurut Gausel (Prayitno, 2003) bidang yang telah banyak
memanfaatkan jasa komputer ialah bimbingan karier dan bimbingan dan konseling
pendidikan. Moh. Surya (2006) mengemukakan bahwa sejalan dengan perkembangan
teknologi komputer interaksi antara konselor dengan individu yang dilayaninya
(klien) tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi dapat juga
dilakukan melalui hubungan secara virtual (maya) melalui internet, dalam bentuk
“cyber counseling”. Dikemukakan pula, bahwa perkembangan dalam bidang teknologi
komunikasi menuntut kesiapan dan adaptasi konselor dalam penguasaan teknologi
dalam melaksanakan bimbingan dan konseling.
Dengan adanya
landasan ilmiah dan teknologi ini, maka peran konselor didalamnya mencakup pula
sebagai ilmuwan sebagaimana dikemukakan oleh McDaniel (Prayitno, 2003) bahwa
konselor adalah seorang ilmuwan. Sebagai ilmuwan, konselor harus mampu mengembangkan
pengetahuan dan teori tentang bimbingan dan konseling, baik berdasarkan hasil
pemikiran kritisnya maupun melalui berbagai bentuk kegiatan penelitian.
Berkenaan
dengan layanan bimbingan dan konseling dalam konteks Indonesia, Prayitno (2003) memperluas
landasan bimbingan dan konseling dengan menambahkan landasan paedagogis,
landasan religius dan landasan yuridis-formal.
Landasan paedagogis dalam layanan
bimbingan dan konseling ditinjau dari tiga segi, yaitu: (a) pendidikan sebagai
upaya pengembangan individu dan bimbingan merupakan salah satu bentuk kegiatan
pendidikan; (b) pendidikan sebagai inti proses bimbingan dan konseling; dan (c)
pendidikan lebih lanjut sebagai inti tujuan layanan bimbingan dan konseling.
Landasan
religius dalam layanan bimbingan dan konseling ditekankan pada tiga hal pokok,
yaitu : (a) manusia sebagai makhluk Tuhan; (b) sikap yang mendorong
perkembangan dari perikehidupan manusia berjalan ke arah dan sesuai dengan
kaidah-kaidah agama; dan (c) upaya yang memungkinkan berkembang dan
dimanfaatkannya secara optimal suasana dan perangkat budaya (termasuk ilmu
pengetahuan dan teknologi) serta kemasyarakatan yang sesuai dengan dan
meneguhkan kehidupan beragama untuk membantu perkembangan dan pemecahan
masalah. Ditegaskan pula oleh Moh. Surya (2006) bahwa salah satu tren bimbingan
dan konseling saat ini adalah bimbingan dan konseling spiritual. Berangkat dari
kehidupan modern dengan kehebatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan
ekonomi yang dialami bangsa-bangsa Barat yang ternyata telah menimbulkan
berbagai suasana kehidupan yang tidak memberikan kebahagiaan batiniah dan
berkembangnya rasa kehampaan. Dewasa ini sedang berkembang kecenderungan untuk
menata kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai spiritual. Kondisi ini telah mendorong
kecenderungan berkembangnya bimbingan dan konseling yang berlandaskan spiritual
atau religi.
Landasan
yuridis-formal berkenaan dengan berbagai peraturan dan perundangan yang berlaku
di Indonesia tentang penyelenggaraan bimbingan dan konseling, yang bersumber
dari Undang-Undang Dasar, Undang – Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan
Menteri serta berbagai aturan dan pedoman lainnya yang mengatur tentang
penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar